Kata mutiara hari ini adalah tentang Pengetahuan Adalah Kekuatan. Artinya banyak orang mencapai sukses dengan pengetahuan yang dimilikinya. Orang yang memiliki pengetahuan bisa mengelola sumber daya alam, menciptkan teknologi yang berguna untuk menusia dan sebagainya. Tentu pula pengetahuan saja tidaklah cukup sampai pengetahuan tersebut jatuh ke tangan seseorang yang sanggup mengubahnya menjadi kemampuan bertindak, take action. Sekedar pengetahuan saja masih belum lebih dari sedikit diatas mimpi. Karena itulah Stop Dreaming Start Action menjadi penting.
Kata bijak ini mengandung makna bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang maka semakin besar dan pengaruhnya, tentunya kata mutiara tentang Pengetahuan ini dimaksudkan untuk pengetahuan yang digunakan secara positif. Semoga kata bijak hari ini dapat memperkuat motivasi Anda untuk meningkatkan pengetahuan Anda dan menggunakannya untuk kebaikan.
Masalah Pemerintahan Pusat Dengan Masyarakat Suku Bangsa!
Antropologis terhadap konflik fokus pada aspek manusia. Utamanya perhatian pada adanya atau ketiadaan mekanisme penyelesaian konflik dalam masyarakat. Akar-akar konflik yang biasanya muncul menurut tesis pendekatan ini adalah perbatasan wilayah kelompok, kepemilikan, sumber air, kepemimpinan, dan dinamika keluarga seperti prosedur warisan, pertikaian rumah tangga, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Pendekatan antropologis yang menekankan aspek manusia punya keuntungan. Pertama, mereka lebih fokus pada “how to solve conflict” dengan mengajukan pertanyaan seperti apakah faktor penyebab konflik itu keragaman agama, etnis, bahasa, distribusi sumber daya, atau masalah yang berkaitan dengan factor geografis? Kedua, mereka menolak penjelasan konflik yang “state-centric”. Orang Dayak, Maluku, Madura, mungkin saja mengaku sebagai sebangsa Indonesia, tetapi mengapa konflik tetap muncul? Terkadang, beberapa pendekatan saling bertumpang-tindih tatkala kita menjelaskan suatu fenomena konflik di Indonesia. Ini tidak bisa terhindarkan akibat konflik antara manusia bukanlah sesuatu yang sederhana dan monofaktor.
Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia umumnya berkembang disekeliling kemajemukan masyarakat Indonesia. Warna suku bangsa, etnis, agama, dan pelapisan sosial kerap mewarnai konflik-konflik violence dan vandal yang muncul. Konflik yang berakar pada wacana primordialisme ini umum terjadi dalam konflik antara suku bangsa Madura, Melayu, dan Dayak di Kalimantan, antara Islam dan Kristen di Maluku dan Palu (Sulawesi Tengah), Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Konflik Aceh, pembantaian 1966 di Jawa dan Bali, dan sejenisnya. Namun, tidak jarang juga konflik kadang muncul karena adanya kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan adat dan suku budaya mereka atau cenderung lebih menekan kebudayaan mereka. Beberapa contoh masalah pemerintah pusat dengan masyarakat suku bangsa:
1. Konflik Aceh
Konflik yang terjadi di Aceh punya akar sejarah yang panjang.3 Akar konflik tersebut berkaitan erat dengan relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan sebagian rakyat Aceh. Sebab itu, masalah yang terjadi di Aceh terutama bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik. Dahulu, Teungku Daud Beure’uh turut mendukung kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Untuk itu, negosiasi antara ia dengan pemerintah pusat adalah otonomi politik dengan penyelenggaraan syariat Islam. Namun, setelah merdeka Aceh tiada diberikan otonomi tersebut dan malah diintegrasikan ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Kekecewaan ini kemudian muncul dalam bentuk pembentukan tentara Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Aceh pada tahun 1953. Pemberontakan tersebut usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan pendidikan. Selain masalah kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik di Aceh juga muncul akibat peminggiran identitas cultural masyarakat Aceh. Sebagai sebuah komunitas, Aceh telah punya konsep yang mapan tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang sejak masa kerajaan Samudera Pasai. Identifikasi cultural masyarakat Aceh yang dilekatkan pada agama Islam ini kemudian mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam.
Pada perkembangannya, pemerintah pusat menerbitkan UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa. Dengan kedua UU tersebut, kekhasan sosio-kultural Aceh tereliminasi. Struktur modern berupa RT, RW, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi harus diterapkan di Aceh menggantikan lembaga-lembaga adat yang telah ada sejak lama.4 Untuk menjamin terselenggaranya UU tersebut, pemerintah pusat menciptakan jaringan elit local yang jadi perpanjangan tangan dari elit pusat. Selain identitas cultural, Aceh pun mengeluhkan masalah eksploitasi dan ketimpangan ekonomi. Penekanan pemerintah Orde Baru pada pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi besar-besaran pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda. Dengan eksploitasi tersebut, Indonesia mampu keluar selaku eksportir LNG terbesar dunia dan 90% hasil pupuk pabrik di Aceh ini digunakan untuk ekspor. Eksploitasi kekayaan alam ini kemudian mendatangkan masalah tatkala terjadi minimalisasi pengembalian ke Aceh. Tahun 1993, dari hasil LNG Aceh pemerintah punya beroleh 6.664 trilyun rupiah, sementara yang kembali ke Aceh adalah 453,9 milyar rupiah. Minimnya pengembalian ini semakin parah tatkala dilakukan survey BPS tahun 1993, bahwa Aceh memiliki desa termiskin terbesar di Indonesia yaitu 2.275 desa. Ini ironis dengan banyaknya industry besar yang berada di Aceh. Pembangunan pabrik eksploitasi alam mendatangkan kaum pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa, di mana orang-orangnya lebih professional ketimbang Aceh. Gerakan Aceh Merdeka memperoleh dukungan luas dari ketimpangan etnis yang terjadi ini. Masyarakat Aceh mulai menyadari hasil tambang (gas dan minyak) hasil bumi mereka lebih banyak yang dibawa ke Jakarta ketimbang dikembalikan ke Aceh. Muara dari factor-faktor pendorong konflik di Aceh tersebut bermuara pada konflik militer GAM versus Pemerintah Pusat, dan di lapangan adalah ABRI (saat itu) versus GAM. Aceh masuk ke dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Kondisi ini bukannya melemahkan GAM, justru sebaliknya, memperkuat justifikasi “eksploitasi” pusat (Jakarta) terhadap daerah.
2. Konflik Papua
Konflik Papua relative mirip dengan akar konflik yang terjadi di Aceh, terutama karakternya yang berhadapan dengan pemerintah pusat. Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963 berdasarkan penjanjian yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda di New York pada 15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia atas Papua kembali ditegaskan lewat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Sejak saat itu Papua terus dilanda gejolak separatism hingga kini. Jika di Aceh ada GAM, maka di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri tahun 1964.5 Gerakan awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala Indonesia tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktitivitas umum OPM adalah maneuver-manuver sporadic guna menyerang pos-pos polisi dan tentara, sabotase sarana vital dan strategis seperti Freeport, menyerang transmigran, atau penghasutan massa. Esther Heidbuchel menyebutkan, lewat sejumlah perkembangan yang ia identifikasi, maka konflik Papua dapat dirunut kepada factor-faktor berikut :6
Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah diadakan Indonesia tatkala mengambil alih Papua dari Belanda,
Pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang dilakukan pasukan Indonesia, utamanya dalam penegakkan hukum atas mereka,
Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat asli Papua. Ini termasuk marginalisasi sosial ekonomi mereka serta terbentuknya stereotip orang Papua itu ‘bodoh’ dan ‘gemar mabuk.’
Dalam perkembangan kemudian, masih menurut Heidbuchel, terbaginya komposisi penyelesaian konflik 3 jalan. Jalan pertama adalah Merdeka dan ini dimotori oleh OPM. Komposisi dari mereka yang pro kemerdekaan adalah rakyat biasa yang berpendidikan rendah, OPM, sebagian kecil elit Papua yang terdidik. Jalan kedua, pro Indonesia dengan status quo. Kelompok ini didukung oleh kaum migrant (orang-orang dari luar Papua), sebagian elit Papua yang terdidik, serta sebagian elit di pemerintah pusat. Jalan ketiga adalah Otonomi Khusus, yang didukung oleh mayoritas elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat, komunitas-komunitas agama, dan LSM.
Sejak terjadinya konflik secara teritorial, desa-desa di Ambon terbagi kedalam desa-desa yang menjadi kekuasaan warga muslim dan desa-desa kelurahan yang menjadi kekuasaan warga kristiani. Selain pada tataran territorial, dampak konflik di Ambon merambah pada polarisasi wilayah kerja formal. Bukan hanya pasar yang terpisah tetapi juga kantor-kantor pemerintahpun, karena alasan keamanan para pegawainya yang juga terpaksa dipisah. Sektor lain yang terpukul akibat konflik berkepanjangan di Ambon adalah sektor pariwisata. Ambon yang indah, sesungguhnya mempunyai cukup banyak lokasi wisata. Tetapi lokasi-lokasi wisata tersebut telah sepi pengunjung, bahkan yang tampak saat peneliti melakukan observasi hanyalah tinggal puing-puing dan bangunan yang tak lagi bertuan. Selain kerugian materiil, sebagaimana yang telah diutarakan diatas, Ambon juga mengalami kerugian non-materiil yaitu hilangnya rasa kepercayaan antar warga masyarakat yang berbeda agama, munculnya rasa ketakutan, saling mencurigai dan rasa tidak aman. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah mengambil berbagai langkah penanganan konflik di Ambon, yaitu dengan cara menggunakan pola pendekatan top down. Berbagai inisiatif program penanganan selalu muncul dari ‘atas’, baik dari pejabat birokrasi sipil maupun militer. Akibatnya keterlibatan warga masyarakat yang notabene nya terlibat konflik kurang maksimal dalam penanganan tersebut. Sudah sepatutnya pemerintah melibatkan seluruh aspek dan lapisan masyarakat untuk terlibat dalam proses rekonsiliasi dan penyelesaian masalah di Ambon. Penyelesaian masalah melalui jalur cultural dengan memaksimalkan fungsi pranata-pranata sosial yang ada pada masyarakat Ambon, seyogianya menjadi prioritas karena dengan itu berarti pemerintah membatasi peran terhadap masalah yang semestinya mampu diselesaikan oleh warga masyarakatnya sendiri.